Memasuki awal tahun 2013, menteri pendidikan nasional Inggris, Michael Cove melakukan perubahan besar dalam pembelajaran TIK di negaranya. Cove mengenalkan kurikulum TIK yang mengedepankan pembelajaran TIK Sains. Menurut Cove, pelajaran TIK yang lalu hanya menekankan keterampilan digital mendasar.
Dikutip dari majalah E&T, Fresh Fruit For Teacher. Volume 8 Issue 3 April 2013, Erick Schmidt dari google dalam pidatonya di sebuah festival televisi internasional Edinburgh memberikan pendapatnya bahwa mengajarkan anak-anak hanya pada bagaimana menggunakan software dibanding menciptakannya, sama artinya menghilangkan warisan kemampuan komputasi yang dimiliki anak-anak itu.
Untuk menghasilkan generasi pencipta dan bukan sekedar pemakai, Cove ingin para murid belajar tentang kode komputer sehingga mampu menghasilkan animasi yang sederhana atau membuat aplikasi untuk telepon pintar mereka.
Bersamaan dengan revolusi pembelajaran ICT di UK, maka di pertengahan tahun 2013 mendikbud RI mengeluarkan kurikulum baru yang diberi nama Kurikulum 2013. Salah satu kebijakan dari kurikulum 2013 adalah dihapuskannya mata pelajaran TIK di jenjang SMP dan SMA, untuk kemudian menggantinya dengan mata pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan.
Keputusan ini tentu sangat disayangkan banyak pihak. Munculnya alasan dari pemerintah bahwa, “anak TK dan SD saja sudah bisa internetan,” menghadirkan pertanyaan baru, “apakah -bisa internet- dapat dijadikan parameter bahwa anak-anak kita sudah mahir menggunakan dan memanfaatkan internet dengan baik?
Barangkali, kutipan artikel dari “Scratch: Programming for everyone,” di bawah ini dapat menjadi bahan renungan bersama.
“Anak-anak kita saat ini adalah mereka yang disebut dengan digital native. Digital native adalah istilah untuk mereka yang lahir bersamaan dengan lahirnya era digital. Sejak dini mereka sudah terbiasa berkirim teks melalui gadget, bermain game online, serta berselancar di internet. Namun, apakah semua itu menandakan bahwa mereka sudah mahir menggunakan teknologi? Walaupun anak-anak muda itu hampir setiap saat bersentuhan dengan media digital, ternyata hanya sedikit dari mereka yang mampu menciptakan games, animasi, ataupun simulasi. Dalam artikel ini, situasi di atas digambarkan sebagai, “It’s as if they can read but not write.”
Belajar pemrograman tidak sekedar bertujuan agar semua anak menjadi programmer. Namun, pemrograman dapat membantu anak mengembangkan keterampilan matematika dan logika, meningkatkan kreativitas, serta melatih mereka untuk memecahkan masalah. Keterampilan dasar di atas akan membantu anak menghadapi kehidupan mereka di masa depan.
Alih-alih menghapus mata pelajaran TIK di sekolah apakah tidak sebaiknya merevisi kurikulum TIK dan menyesuaikan dengan kebutuhan masa depan generasi bangsa?