Belajar Tiada Henti

Dari Workshop ke Musium

Udara sejuk menyambut kedatangan kami di bandara Abdul Rachman Saleh, Malang. Bandara ini terletak di Pakis, Kabupaten Malang, atau sekitar 17 km arah timur dari pusat kota Malang. Setelah check in di hotel terlebih dahulu, kami langsung berangkat ke tempat acara yang diadakan oleh komunitas di SMK Sandhy Putra, tempat partner menjadi pembicara esok hari. Saya sendiri hanya menemani dengan niat jalan-jalan :). Tetapi, berhubung salah satu pembicara berhalangan hadir maka saya dimintai tolong mengisi sesi Beliau. Reaksi pertama tentu saja menolak. Iya sih, pesertanya seusia murid saya tapi tanpa persiapan materi? Wow 🙂

Setelah berusaha menolak dan menawar akhirnya diputuskan saya ditemani pembicara utama, mbak Ollie (Mbak Ollie ini sudah mengisi sesi sebelumnya). Sambil mencari ide agar sesuai dengan bahasan worksop yang mengambil tema Start up, saya memutuskan bercerita tentang murid-murid saya dan karya mereka. Beruntung saya pernah memberikan materi prakarya berupa perancangan produk, yang mengenalkan siswa kepada dunia kewirausahaan berbasis digital. Dan materi serta karya siswa itu saya simpan dan tulis di blog saya di sini. Alhamdulillah, presentasi hari itu berjalan lancar.
photo 1
Hari kedua, sementara partner menjadi pembicara, saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri kota Malang. Tujuan pertama yaitu musium Brawijaya. Rintik hujan menyapa ketika saya turun dari becak. Sedikit berlari saya menapaki tangga musium. Tiket masuk musium ini 2.500 IDR.
photo 1
Bangunan musium tampak tua, berdebu dan kurang terawat. Beberapa anak sekolah berlarian. Mulanya agak takut juga masuk ke dalam sendirian, apalagi kemudian ruangan di sisi kiri itu mendadak sepi dan sunyi. Tapi ketakutan itu hilang begitu melihat foto dan peralatan yang digunakan para pejuang untuk melakukan komunikasi dengan memanfaatkan burung merpati. Hebat juga ya, merpati bisa dilatih untuk menyampaikan pesan.
photo 2 photo 3
Ada juga koleksi peralatan komunikasi dan model komputer lawas. Dokumentasikan dahulu, barangkali bermanfaat untuk bahan mengajar.
photo 1
Dan, yang tak kalah menarik adalah koleksi mata uang RI jaman lalu. Ada juga mata uang Jepang yang sempat beredar di Indonesia, ketika negeri matahari terbit itu menjajah Indonesia. Sebagai mantan kolektor koin saya cukup berlama-lama di bagian ini.
photo 4 photo 5 photo 2
Beberapa barang peninggalan sejarah lainnya masih terawat baik seperti mobil, tank, peralatan tempur serta perlengkapan dari pakaian sampai perabotan seperti kursi, meja, yang digunakan oleh panglima Soedirman.

Di halaman belakang musium Brawijaya terdapat gerbong maut. Gerbong ini pada masa penjajahan Belanda digunakan untuk mengangkut 100 tawanan pejuang Indonesia dari Bondowoso menuju Surabaya. Keadaan gerbong yang kecil serta tertutup rapat mengakibatkan 46 orang meninggal, 11 sakit parah, 31 sakit, dan yang masih sehat hanya 12 orang.

Di luar, tetes-tetes hujan membasahi permukaan bumi. Patung panglima besar Soedirman berdiri tegak di tengah terpaan hujan. Sebuah tekad telah ditanamkan, di dada seorang pangsar Sudirman, “Janji sudah kita dengungkan, tekad sudah kita tanamkan. Semua ini tidak akan bermanfaat apabila janji dan tekad ini tidak kita amalkan dengan amalan yang nyata.”

Selaras dengan semboyan “Citra Uthapana Cakra” yang berarti “Sinar Yang Membangkitkan Kekuatan”, musium Brawijaya berharap dapat menjadi tempat yang bisa membangkitkan semangat bagi siapa saja yang datang.

Keluar dari musium Brawijaya, saya melanjutkan perjalanan mengunjungi klenteng. Klenteng adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut agama Konghucu. Masuk ke dalam klenteng tidak dipungut bayaran. Berfoto-foto sebentar untuk kemudian melanjutkan kunjungan ke musium berikutnya, musium Malang Tempo Doeloe.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.