Rabu pagi, tepat di hari pemilihan calon gubernur di Jakarta kami berangkat menuju Bali. Kalau kami tidak memilih itu dikarenakan KTP kami masih Jawa Barat. Yup, sejogyanya kami memang masih warga Bandung yang beberapa tahun lalu merantau ke Jakarta. Perjalanan ditempuh dalam waktu 1.5 jam. Sampai di Denpasar jam 10 lebih waktu setempat. Perbedaan waktu antara Jakarta dan Bali adalah satu jam lebih awal. Jika di Jakarta jam 09.00 maka di Bali jam 10.00.
Ini kunjungan pertama saya ke Bali setelah sekian lama, berpuluh tahun lamanya. Jadi, sempat kaget juga ketika pilot mengumumkan bahwa pesawat akan segera mendarat sedangkan dari jendela pesawat yang saya lihat adalah lautan. Partner kemudian menjelaskan bentuk landasan di atas laut yang ada di pulau dewata ini.
Hotel kami letaknya di Sanur. Dengan taxi dari Bandara menuju Grand Beach Bali memakan waktu sekitar 1.5 jam.
Bali terkenal dengan pantainya yang indah. Berjalan-jalan di sepanjang pantai sanur. Memunguti kerang. Duduk dan membaca buku di bawah pohon dengan hamparan pasir putih serta pemandangan laut yang jernih. Memandangi burung-burung beterbangan dan menukik dengan indahnya ke dalam laut untuk memangsa korbannya. Wah, yang terakhir itu pemandangan yang tidak terlalu mengenakkan sesungguhnya.
Hari kedua saya niatkan pergi ke musium Bali. Sendirian? Yup, dibandingkan Jakarta, Bali memang jauh lebih aman. Di Bali musium mungkin bukan tempat yang biasanya dituju oleh wisatawan. Kebanyakan turis akan pergi ke Kuta, Sanur, pura, dan lainnya. Saya pun tahu musium ini dari mas Graifhan yang memang lama tinggal di Bali. Berbekal petunjuk dari Beliau saya mengunjungi musium Bali. Oya, transportasi publik di Bali agak sulit. Bisa dibilang jarang ditemukan bis atau angkutan umum lainnya. Itu pun rute-nya tidak menentu. Maka, daripada menyasar tak tentu arah, saya memilih taxi. Sesuai rekomendasi mas Dhani, saya menggunakan taxi biru dengan lambang burung yang induknya pun ada di Jakarta.
Harga tiket masuk ke musium cukup murah, 5000 saja. Untuk guide di dalam musium dikenakan biaya 50 ribu untuk turis lokal. Entah apakah itu mahal atau tidak. Namun melihat wisatawan yang jarang menengok tempat ini rasanya itu cukup layak untuk mereka. Rasanya miris setiap kali melihat musium-musium yang ada di Indonesia. Sepi. Namun musium Bali ini kondisinya jauh lebih baik walau tak banyak yang dipamerkan. Sayang, karena sebenarnya banyak sekali kisah dari sisa-sisa peninggalan masa lampau dan gambaran tentang kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup tersebar di muka bumi yang bisa digali.
Memasuki musium, di halaman puri Raja Denpasar, terdapat meriam peninggalan bangsa Belanda.
Kemudian masuk ke dalam puri. Di kiri kanannya diletakkan meriam dari China.
Saya lupa, siapa nama raja Bali yang suka bepergian ke berbagai negara itu ya? Dia banyak mengumpulkan berbagai benda seni yang diperolehnya dari setiap negara. Beberapa koleksinya disimpan di sini.
Di dalam sebuah ruangan, Pak Agung, si guide mulai menceritakan sejarah berkenaan dengan artefak yang ada di dalam kaca. Salah satunya, 3 patung dewa umat Hindu. Mereka adalah: Brahma, Wisnu, dan Shiwa. Brahma adalah mewakilkan pencipta, Wisnu pemelihara dan Shiwa adalah perusak.
Dewa Brahma juga dianggap sebagai perwujudan dari Brahman (sebutan bagi Tuhan Yang Maha Esa untuk umat Hindu atau disebut Sang Hyang Widi).
Ada patung Dewi Saraswati. Dewi Saraswati adalah simbol ilmu pengetahuan dan seni. Perayaan hari Dewi Saraswati diperingati oleh umat Bali setiap hari sabtu legi (setiap 210 hari menurut kalendar Bali). Pada hari itu umat Hindu tidak diperkenankan mengakses apapun yang berbau ilmu pengetahuan dan komunikasi. Larangan itu dimaksudkan sebagai bentuk penyucian, agar ilmu pengetahuan kembali bersih dan suci.
Selanjutnya yang menarik adalah mata uang kepeng atau pis bolong. Diberi nama pis bolong karena koin beraneka bentuk seperti lingkaran, bujur sangkar, dan lain-lain itu di tengahnya berlubang. Kepeng adalah mata uang yang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah pada tahun saka. Mata uang kepeng ada yang dibuat sendiri (nusantara) ada juga yang diimpor dari Cina.
Ada juga diorama dari kehidupan masyarakat Bali asli di sebuah pegunungan. Lalu deskripsi dari tradisi umat Hindu lainnya seperti potong gigi bagi mereka yang akil balik (setelah usia 15 tahun), serta upacara seperti ngaben, kuningan, nyepi, dan masih banyak lainnya.
Ada juga kalendar Bali untuk menentukan hari baik. Beberapa kebudayaan Bali mempunyai kemiripan dengan suku Jawa. Seperti di Bali mereka mempunyai aksara huruf yang bernama Hanacaraka Datasawala. Di Jawa mereka menyebutnya dengan Honocoroko Dotosowolo. Suku Jawa pun masih memercayai adanya hari baik pada penanggalan suku mereka.
Beberapa teks prasasti dan naskah-naskah kuno ditulis di atas kertas lontar. Mengingatkan saya pada Mesir dan kertas papirusnya.
Lukisan perang puputan membuat sedikit rasa sesak di dalam dada. Puputan yang berarti perang sampai mati adalah wujud kecintaan masyarakat Bali pada tanah airnya. Saat itu mereka berperang melawan Belanda. Ini adalah perang yang besar karena memakan banyak korban tidak hanya pria, namun juga wanita dan anak-anak yang ikut berjuang. Ini adalah perang puputan yang dilakukan oleh kerajaan Buleleng ketika melawan kolonial Belanda. Tampak di gambar lokasi perang puputan terjadi dan itu letaknya tepat di depan musium Bali, yang keberadaanya saat ini telah menjadi taman puputan.
Saya melangkahkan kaki keluar menuju taman puputan. Taman luas dengan rimbun pepohonan dan beberapa tempat duduk, tempat warga meluangkan waktu bersama keluarga, sauadara, dan teman-teman mereka.
Di tengah taman tampak monumen puputan dengan 3 patung yang terdiri dari pria, wanita, dan anak. Patung itu melambangkan para korban dalam perang puputan.
Taman yang cukup bersih. Teduh dan nyaman. Bali sungguh beruntung memiliki taman kota yang sejuk dan hijau. Saya beristirahat sejenak sambil mengambil beberapa foto. Asyiknya, walau saya duduk sendirian tidak ada orang yang iseng. Konon, kata mas Graifhan ada bunga sakura di taman puputan. Bunga-bunga sakura itu akan mekar di bulan Agustus-september. Ah, sayangnya sekarang masih bulan Juli. Tak apa deh, siapa tahu di lain kesempatan saya bisa melihat bunga-bunga sakura bermekaran dengan indahnya.
Bali kota yang menyenangkan, cukup bersih dibanding Bandung saat ini. Masih banyak taman kota, dan tempat duduk-duduk di sepanjang jalan.
Dari musium Bali tadinya saya ingin ke art center. Tapi ya itu, menunggu pesanan taxi yang sudah lama dan sedikit mendung serta batere yang lowbat sepertinya agak beresiko. Maka setelah jalan dan bersantap siang di rumah makan Jawa Timur, yang tidak sengaja saya lewati, saya memutuskan untuk kembali ke hotel.
Keputusan yang tidak saya sesali. Tanpa disangka seekor makhluk mungil tampak di hadapan saya. Bentuk dan ekornya yang ajaib membuat saya hampir saja berteriak saking kagetnya. Sesaat saya sempat terpaku dan si.. ya si tupai coklat itu sedang membelakangi saya. Ekor kecilnya berputar-putar. Hahaha. Saya langsung membuka isi tas dan merobek kemasan yang berisi almond. Berjongkok dan memanggilnya. Si tupai melihat dengan takut-takut. Tapi ternyata ia tidak terlalu takut dengan manusia. Tupai coklat berjingkat-jingkat, mencari celah mendekati almond yang saya sebar tak jauh dari tempat saya berjongkok. Mengambil satu dan berlari ke atas pohon. Kembali lagi dan lagi. Beberapa tupai lainnya muncul tiba-tiba. Dan sebuah keluarga dengan anak-anaknya berteriak memanggil si tupai. Si tupai kabur dan berlari cepat. Saya mengajari mereka cara memanggil tupai. Memberikan almond kepada mereka. Tupai muncul tapi kembali ke atas pohon.
Tak lama keluarga itu pergi dan saya masih sedikit bermain bersama mereka. Saya baru sadar kalau tempat saya bermain-main dengan si tupai adalah tempat berlalu lalangnya orang-orang. Untungnya di Bali, di mana orang terbiasa belajar menghargai perbedaan dan bahkan mungkin juga keanehan :).
Hari terakhir kami menyempatkan diri menyusuri jalan-jalan kecil dengan bersepeda. Mencecap asin udara laut. Bermain-main di atas hamparan pasir putih dan bertemu dengan kepiting-kepiting kecil yang berlari cepat ketika kaki-kaki kami melewati mereka.
Tupai-tupai masih berlarian dengan lincahnya, meloncat dari pohon yang satu ke pohon lainnya. Riang. Di sini tupai-tupai dilindungi dan dilestarikan. Para karyawan hotel biasa memberi makan tupai-tupai itu pada pagi dan sore hari. Mereka memberi kentang goreng atau pisang yang diiris tipis untuk tupai-tupai itu. Wow, pantas saja tupai-tupai di sini lebih gendut. Hehe. Mereka juga suka bermalas-malasan dengan bobo di atas pohon kelapa yang berayun-ayun.
Selamat bermain tupai bandel. Seize the day, squirrel :))
Bye Bali, hope to see you again.