Pelajaran apa yang saya petik dari perjalanan ibadah umrah kali ini?
Sebelumnya saya sering mendengar cerita bahwa perbuatan kita di tanah air akan berbalas ketika kita berada di Makkah atau Madinah. Saya sendiri mempunyai pendapat yang berbeda. Baik di tanah air atau dimanapun jika kita mau membuka mata hati sebenarnya lah Allah selalu memberikan kita petunjuk dan peringatan. Hanya saja kita biasanya terlalu disibukkan oleh rutinitas sehingga kepekaan hati itu sedikit terabaikan. Kita cenderung menganggap apa yang kita peroleh atau yang kita nikmati adalah hal yang biasa saja atau memang sudah semustinya begitu. Sehingga kita kemudian menjadi sulit untuk bersyukur.
Ada sebuah hadis yang sangat saya sukai dan menjadi pengingat untuk diri saya di setiap waktu. Hadis itu berbunyi: “Jika kamu berbuat baik maka kebaikan itu untuk diri kamu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu juga untuk diri kamu sendiri.”
Maka, jika saya berbuat jahat terhadap makhluk ciptaan Allah itu sama artinya saya sedang menzalimi diri saya sendiri. Allah tidak pernah menghukum hamba-Nya, kita lah yang menzalimi diri kita sendiri oleh karena perbuatan kita sendiri.
Cerita bahwa perbuatan kita akan berbalas di tanah Arab mungkin disebabkan karena kita menjadi lebih peka terhadap perlakuan orang lain terhadap kita. Itu pula yang saya rasakan saat itu.
Ada momen manis, menggetarkan pun ada peringatan yang membuat saya menitikkan air mata.
Perjalanan ibadah umrah ini mengajarkan saya untuk lebih bisa mengendalikan emosi dan mengekang keinginan-keinginan pribadi. Bepergian dengan orang banyak tidak lah mungkin kalau tidak menimbulkan masalah. Tetapi, itu sesungguhnya adalah bagian dari ujian yang Allah berikan kepada kita. Tidak itu saja, faktor-faktor lainnya di sana pun bagian dari ujian kesabaran kita.
Melihat bagaimana orang berlari, berteriak-teriak histeris, mendorong dan menyakiti orang lain agar bisa shalat dan berdoa di Raudah atau mencium hajar aswad atau memperebutkan tempat-tempat mustajab lainnya membuat saya menghela napas. Tiba-tiba terlintas di dalam benak saya pasti sangat berat perjuangan Nabi Muhammad saw pada masa itu untuk mendidik umatnya.
Menyimak cerita patner tentang beberapa kisah Nabi, diantaranya seseorang yang dengan tanpa merasa bersalah mengeluarkan hajat kecil di masjid. Lalu Nabi menegurnya. Atau cerita lainnya ketika Nabi meminta tolong sahabatnya untuk mencarikan batu sebagai pengganti air yang akan digunakan untuk menutup hajat besar. Salah seorang dari mereka malah membawakan kotoran unta yang sudah keras.
Menyimak cerita-cerita ini menyadarkan saya mengapa kemudian agama berkesan diajarkan seolah dengan ancaman. Barangkali begitu bebalnya kita, manusia, bahkan yang dengan akal dan pikiran yang Allah anugerahkan kepada kita dengan tujuan agar digunakan untuk berpikir, seringkali dalam kenyataannya tidak digunakan secara baik dan maksimal.
Saya jadi teringat salah satu ayat yang berbunyi:
“Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?” Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS 39 : 9).
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS 58 :11).
Apa artinya? Ilmu diperlukan didalam kehidupan. Dengan ilmu kita memperoleh pengetahuan, mengetahui hal-hal yang baik dan mulia serta menjauhi perbuatan yang buruk.
Maka semustinya sebagai makhluk yang berilmu, kita memahami bahwa berlari dan berteriak-teriak histeris di rumah Allah adalah bukan perbuatan yang terpuji. Bukankah kita adalah tamu Allah? Maka sebagai tamu Allah berperilaku dan beradab lah yang baik. Jangan pula mendorong dan menyakiti orang lain karena mereka yang berilmu sejatinya memahami bahwa sesama muslim adalah bersaudara. Maka, sayangi dan kasihi mereka sebagaimana perintah Allah.
Saya senang menyimak cerita-cerita yang disampaikan partner. Terkadang ketika saya membaca al-quran saya melihat pesan yang saling berkaitan dengan apa yang saya amati atau saya dengar. Saya tak pandai membaca huruf arab, lebih banyak tertatih-tatih. Walau demikian saya berharap suatu hari nanti saya bisa membaca huruf arab dengan lebih baik. Amin yra.