Rintik hujan menemani perjalanan kami sore ini menuju Fort Rotterdam, benteng peninggalan Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan. Letak benteng berada di pinggir pantai Losari sebelah barat kota Makassar.
Memasuki komplek benteng, di kiri kanan berdiri bangunan-bangunan yang telah dialih fungsikan menjadi museum. Sementara beberapa bangunan lainnya di dalam benteng sudah banyak yang hancur, walaupun kondisinya masih tampak baik.
Menyusuri tepian benteng dan sesaat angan mengembara jauh. Dahulu, di sini, selama satu tahun penuh Kesultanan Gowa diserang. Sultan Hasanuddin dan para pejuangnya bertempur mati-matian mempertahankan benteng melawan Belanda. Tujuan penyerbuan Belanda adalah untuk menguasai jalur rempah-rempah dan memperluas kekuasaan untuk memudahkan mereka membuka jalur ke Banda dan Maluku. Pertempuran ini menyebabkan beberapa bagian benteng hancur. Kesultanan Gowa pun kalah dan dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667.
Guberbur jenderal Speelman, armada pemimpin perang saat itu kemudian membangun kembali beberapa bagian benteng yang hancur dengan model arsitektur Belanda. Dan menambahkan satu bastion lagi di sisi barat. Ia juga menamakan benteng dengan Fort Rotterdam, yang diambil dari nama tempat kelahiran Speelman (narsis juga ya? hehe)
Dinding tembok benteng konon dibuat dari batu padas hitam, yang bahan dasarnya merupakan campuran batu dan dan tanah liat yang dibakar hingga kering. Tembok benteng sudah dipenuhi lumut, namun kenangan kemegahan sebuah benteng masih jelas tergambar.
Sayang, beberapa museum seperti museum La Galigo sudah tutup, mungkin karena kami sudah terlalu sore ke sana. Namun ada satu museum yang masih buka. Entah museum apa namanya. Untuk masuk ke dalam museum ini tarif yang dikenakan adalah 5000 IDR untuk wisatawan lokal, untuk turis asing 10000 IDR. Isi museum antara lain, perahu pinisi, kapal layar tradisional suku Bugis dan Makassar. Ada juga berbagai hasil bumi dan rempah pulau ini, antara lain: kopra, kopi, dan lain-lain. Rumah adat masyarakat Bugis dan Makasar, serta peralatan membuat kapal, melaut, dan banyak lagi. Dipamerkan juga kreasi corak dan warna khas kain sutra Bugis dan Makasar yang ditenun secara tradisional.
Keluar dari museum kami menuju penjara Pangeran Diponegoro. Pangeran dari Jawa Tengah ini pernah dipenjara oleh Belanda. Sel ini memiliki ruangan yang sempit dengan atap melengkung dan pintu yang rendah. Lagi, kami tak bisa masuk ke dalam dan hanya bisa melihat dari luar.
Di sekitar benteng terdapat toko souvenir yang menjual berbagai benda kerajinan tangan. Ada juga toko yang menjual buku-buku hikayat dan sejarah kepahlawanan kota ini, yang juga sayangnya sudah tutup. Maka, kami cukup menyusuri sudut-sudut benteng dan lorong-lorong bastion yang berbeda satu sama lain. Beberapa bagian lorong dan sudut bastion mengingatkan saya pada kisah-kisah detektif. Lorong-lorong dan gua misteri yang menegangkan dan begitu seru untuk dieksplorasi.
Rintik hujan masih mengguyur Makassar, pulau nenek moyang pelaut sejati. Kami keluar dari benteng Fort Rotterdam untuk perjalanan berikutnya. Saatnya mencicipi kuliner kota Anging Mammiri yang terkenal dengan ragam olahan berbahan dasar ikan dan kaya rempah.
Kuliner khas di Makassar adalah coto makassar, masakan berkuah segar panas yang terdiri dari beberapa pilihan seperti daging sapi, lidah sapi, dan jeroan. Disantap bersama ketupat atau buras, disertai sambal hijau pedas. Makassar juga terkenal dengan olahan dasar ikan. Rasa ikan di sini berbeda dengan di Jakarta, lebih manis. Disantap bersama tumis kangkung, sambal mangga, sambal dabu-dabu dan sambal ikan bakar yang racikannya terdiri dari sambal kacang dilengkapi jeruk nipis, hemm.. enak deh :). Cemilan khas kota ini adalah pisang epe. Pisang tanduk muda yang dibakar dan dilapisi keju bersama larutan coklat dan biji durian. Untuk menghangatkan tubuh bisa mencoba saraba, minuman yang berisi campuran susu dan jahe. Rasanya serupa dengan bajigur atau bandrek.
Malam semakin larut, dari lantai kamar hotel laut Losari tampak tenang, temaram. Beberapa kapal tampak di kejauhan. Itukah pinisi?