Paris adalah kota kedua setelah London dalam perjalanan kami dua minggu ke negara Eropa. Paris sangat terik menjelang akhir bulan Mei. Waktu terasa lebih panjang dan jam istirahat di malam hari menjadi lebih pendek. Jam 21 sinar matahari masih terasa hangat. Akibatnya, waktu makan dan istirahat kami terkacau kan.
Hotel Ibis tempat kami menginap terletak di tempat yang cukup strategis. Jalan raya dengan banyak resto, cafe, dan toko-toko di sisi kiri dan kanan jalan. Berjalan sebentar dan kami sampai di stasiun bawah tanah, taxi, dan terminal bis.
Sore ini kami mengunjungi Eiffel Tower. Angin bertiup cukup kencang. Kawasan Eiffel tumpah ruah dengan ratusan (atau ribuan) orang? Mereka mengantre untuk bisa naik ke atas menara. Pun demikian dengan kami. Saya sendiri tak antusias untuk naik ke atas. Saya tak berani. Beberapa tahun silam saya pernah ke sini bersama adik dan kami tak naik ke atas. Waktu itu saya berhasil membujuk adik untuk tidak naik ke sana (karena baik saya dan dia sebenarnya agak takut juga..hehe). Namun kali ini saya mengalah. Partner tak akan naik jika saya tak ikut. Duh. Akhirnya dengan memberanikan diri saya pun ikut antre. Antara takut tapi penasaran itulah yang saya rasakan. Dan akhirnya sampailah kami di depan loket. Partner memilih tiket untuk sampai di puncak. Oya, ada 2 pilihan tiket. Pertama, di tengah dan kedua di puncak menara. Selanjutnya, kami mengantre menunggu lift yang akan membawa kami ke atas sana.
Pintu lift membuka dengan suara berdesir. Kami masuk ke dalam. Rangkaian tali pengangkut lift bergerak naik mengeluarkan bunyi berderak-derak. Saya memilih berada di bagian lift yang sedikit tertutup. Saya mengalihkan perhatian pada rangkaian besi dan tali lift yang berjuluran dan saling mengkait. Lift berhenti dan kami pindah lift. Naik lift lagi, naik tangga dan sampailah di puncak. Angin kencang menyambut kedatangan kami. Saya tak berani lama-lama berada di pinggir dinding. Rasanya angin bisa saja menerbangkan tubuh saya yang tipis ini. Partner sih senang saja. Memfoto dan malah asyik bercerita bagian-bagian kota Paris, yang memang sangat indah terlihat dari atas menara. Kemudian kami turun dan singgah di bagian tengah menara sebelum akhirnya turun. Saya sendiri tidak menyesal memutuskan naik ke atas. Pemandangannya sungguh cantik. Sungai Seine tampak berkilau-kilau. Musium Pantheon berdiri megah dan benderang.
Pagi berikutnya kami niatkan untuk berjalan-jalan sebelum singgah di musium Pantheon. Di tengah perjalanan kami mampir di toko buku yang kebetulan memajang koleksi buku Pangeran Kecil. Partner adalah kolektor buku Pangeran Kecil dari berbagai bahasa. Berjalan sedikit menanjak kami menemui universitas Sorbonne, universitas tertua dan terkenal di dunia. Oya, tempat kuliahnya Andrea Hirata si penulis Laskar Pelangi :>. Akhirnya, sampailah kami di musium Pantheon, dengan atap berbentuk seperti kubah. Kami membeli tiket dan masuk ke dalamnya. Agak sedikit kecewa sebenarnya karena isi musium ini tidak sebanyak musium-musium lain yang umumnya ada. Di lantai bawah berisi makam-makam para ilmuwan, antara lain Marrie Currie dan suaminya, Piere Currie.
Di lantai pertama, di tengah ruangan terdapat pendulum foucault. Pendulum itu menggantung pada sebuah kawat tipis di langit-langit gedung. Nah, partner bilang pendulum foucault menunjukkan salah satu bukti bahwa bumi berputar. Tentu saja pada saat Foucault memasang pendulum itu, warga bumi sudah sadar bahwa bumi itu bulat dan berputar.
Saya yang memang senang didongengkan macam-macam iseng bertanya “Kalau di Indonesia dipasang seperti ini bisa nggak? Apakah bolanya juga akan bergerak seperti di sana itu?”. Mau tahu jawabannya? Indonesia terletak di garis khatulistiwa. Bukti bahwa bumi berputar hanya bisa dibuktikan di bagian utara dan selatan bumi. Penjabaran yang lebih lengkap ada di sini.
Dari Pantheon kami mengarah ke institure dan musium Currie. Sayang, musium ini tutup karena sedang renovasi. Kami masuk ke dalam institut dan memfoto musium dari luar pagar. Selanjutnya kami menuju musium Orsay. Musium di mana beberapa karya pelukis terkenal dipamerkan. Beberapa di antaranya adalah Degas, Van Gogh, Monet, Renoir. Partner yang penyuka Renoir dan Van Gogh asyik mematut lukisan idolanya. Sedangkan saya asyik mengagumi karya Monet. Kadang rasanya lucu, karena jauh sebelum kami saling mengenal satu sama lain, saya mengenal dan menyukai musik klasik dari kakak dan adik. Saya suka menggambar dan menyukai karya-karya Monet. Saya pernah menghadiahi partner diary dengan sisipan foto-foto karya Monet. Tapi saya tak tahu kalau dia menyukai lukisan saat itu. Beberapa hal yang menjadi minat saya sempat terabaikan dan baru muncul kembali ketika saya bertemu dengannya. Ajaib juga ya? Hehe. Tapi tentu saja saya hanya ada di batas penikmat ringan <wink>.
Paris masih panas. Ketika orang-orang memilih untuk berjemur kami sebaliknya mencari tempat yang teduh. Haha, maklumlah kami dari negeri tropis yang setiap hari dikucur hangat matahari. Kali ini kami menuju istana Perancis atau Palais du Louvre. Kalau pernah baca buku Da Vinci Code atau melihat filmnya, nah inilah tempat di mana professor Robert Langdon bersimpuh memeriksa tubuh Saunier, si kurator terkenal dalam misteri pembunuhan.
Istana Perancis ini sangat luas. Di tengahnya berdiri piramid kaca dan dilengkapi kolam air mancur yang jernih. Tersedia juga bangku-bangku yang dapat dinaiki guna untuk memanipulasi efek pemotretan dengan latar belakang piramid. Dengan gaya yang sesuai maka si model seolah raksasa yang mengangkat piramid.
Selepas dari istana Perancis, kami melewati kawasan kantor parlementer. Di tengahnya berdiri (serupa) batu menhir. Konon itu adalah batu menhir yang dibawa Asterix ke Galia (Paris). Tentu saja ini sekedar candaan yang diambil dari komik terkenal Asterix dan Obelix.
Kami meneruskan perjalanan menuju Arc de Triomphe atau Tugu Kemenangan. Tugu kemenangan rakyat Perancis ini awalnya dibangun oleh Napoleon Bonaparte. Untuk pendirian tugu ini Napoleon meminjam uang rakyat. Namun sebelum tugu selesai Napoleon meninggal. Pemerintah kemudian meneruskan pendiriannya sekaligus sebagai peringatan bahwa Napoleon masih berhutang kepada rakyat. Tempat ini juga dikenal sebagai pintu gerbang pasukan Napoleon berangkat dan pulang dari pertempuran.
Sebelum meneruskan perjalan ke Wina, kami sempatkan melihat Academie Nationale de musique. Ini adalah tempat di mana musik klasik dipertunjukkan. Kami juga mampir ke institute Pasteur. Lagi, musium ini ditutup karena sedang dipugar. Kami hanya bisa memotretnya dari luar. Saya berusaha mengintip, mencari patung seorang bocah laki-laki dengan seekor anjing. Ketemu. Dalam biografinya, Pasteur pernah menceritakan seorang bocah laki-laki yang bernama Joseph Meister. Saat itu bocah ini digigit anjing rabies, penyakit gila yang mematikan. Saat kejadian terjadi tidak jauh dari laboratorium tempat Pasteur sedang bekerja bersama kawan-kawannya. Pasteur sudah berhasil membuat vaksin rabies tapi dia belum pernah mencobakannya pada manusia. Saat itu Ibu Joseph menggedor pintu lab dan memohon Pasteur untuk memberikan obat pada putranya. Awalnya Pasteur menolak tapi Ibu Joseph memaksa. Dengan dukungan kawan-kawannya Pasteur kemudian menyuntikkan vaksin itu ke tubuh Joseph. Perkembangan Joseph dipantau setiap hari. Josep berangsur membaik dan sembuh. Itulah awal vaksin rabies diberikan kepada manusia dan kemudian dikembangkan untuk memberantas penyakit anjing gila.
Menyusuri kota Perancis untuk terakhir kali sebelum kami bersiap melanjutkan penerbangan menuju kota lainnya, Wina.
Au revior, Perancis. See you in another time.